Yogyakarta - Telah kualami malu dan derita. Tapi
kumohon agar segala hal yang sudah lalu direlakan. [Dan] agar keluargaku
benar-benar mengindahkan agama Rasul untuk mendapatkan pertolongan.
Kalimat itu tertulis dalam Babad Diponegoro,
sebuah naskah setebal 1.000 halaman lebih yang ditulis sang pangeran
selama masa pengasingan di Manado pada 1830-1833. Sejak Diponegoro
ditangkap Letnan Jenderal Gubernur Hindia-Belanda Hendrik Merkus de Kock
di Magelang pada 28 Maret 1830 dan diasingkan ke Manado, keluarganya
pun hidup terpisah. Beberapa ada yang menyertai ke pengasingan, tapi tak
sedikit yang tertinggal di Jawa.
“Sejak 1830 itulah keluarga
kami tercerai berai,” kata Roni Sodewo, keturunan Pangeran Diponegoro.
Lelaki yang mengklaim berada pada urutan ketujuh dalam rantai silsilah
sang pangeran itu kini tinggal di Kulon Progo dan bekerja sebagai
pegawai negeri.
Bagi anak-cucu Diponegoro yang lahir dan besar di
tempat pengasingan, kata dia, mereka seolah harus kehilangan identitas
sebagai orang Jawa. Di Ambon, misalnya, ia mencontohkan. “Di Ambon
dibilang orang Jawa, tapi di Jawa sendiri mereka dibilang orang Ambon.”
Roni
mengatakan kedatangan kembali anak-cucu Pangeran Diponegoro ke Jawa
terjadi sebelum masa kemerdekaan Republik Indonesia. Soekarno, Presiden
RI pertama, adalah pengagum Diponegoro. Atas bantuannya, anak-cucu
Diponegoro bisa kembali tanah Jawa. “Tapi tidak di Jawa Tengah dan
Yogyakarta,” kata lelaki 42 tahun itu. “Melainkan ditempatkan di
Cimahi.”
Bagaimana dengan anak cucu Diponegoro yang tertinggal di
Jawa? Ternyata tak kalah sengsara. Roni ingat satu cerita dari mbah
buyutnya. Pada masa penjajahan Belanda, ada pesan turun-temurun yang
disampaikan agar anak-cucu Diponegoro tak pernah mengaku sebagai
keturunan sang pangeran. Mungkin saja, ia menduga, untuk alasan
keamanan.
Lantaran tak pernah membuka identitas diri itu, tak
jarang anggota keluarga tak mengenal saudara dari keluarga lainnya.
Namun ia menyatakan ada kode rahasia yang berlaku agar sesama keluarga
keturunan Diponegoro masih bisa saling mengenali. Pada trah Sodewo,
misalnya, kata dia, ada pesan agar mereka menanam pohon tertentu di
sekeliling rumahnya. Yakni kemuning di kanan kiri, sawo di depan, dan
kepel di belakang rumah. “Kalau sawo kecik dihindari,” katanya.
Sawo
kecik, kata dia, adalah pohon yang lazim ditemui di sekitar keraton
Yogyakarta. Keluarga khawatir, dengan menanam pohon itu identitas mereka
justru terbongkar. Menurut dia, kekhawatiran-kekhawatiran semacam itu
tentu tak ada lagi.
Diponegoro meninggal di Makassar pada 8
Januari 1855. Tepat di tanggal yang sama, 8 Januari 2014, aktor dan
sutradara teater, Landung Simatupang, menggelar pembacaan drama tentang
Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, Yogyakarta.
Thursday, January 9, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment