Thursday, January 9, 2014

Yogyakarta - Telah kualami malu dan derita. Tapi kumohon agar segala hal yang sudah lalu direlakan. [Dan] agar keluargaku benar-benar mengindahkan agama Rasul untuk mendapatkan pertolongan.

Kalimat itu tertulis dalam Babad Diponegoro, sebuah naskah setebal 1.000 halaman lebih yang ditulis sang pangeran selama masa pengasingan di Manado pada 1830-1833. Sejak Diponegoro ditangkap Letnan Jenderal Gubernur Hindia-Belanda Hendrik Merkus de Kock di Magelang pada 28 Maret 1830 dan diasingkan ke Manado, keluarganya pun hidup terpisah. Beberapa ada yang menyertai ke pengasingan, tapi tak sedikit yang tertinggal di Jawa.

“Sejak 1830 itulah keluarga kami tercerai berai,” kata Roni Sodewo, keturunan Pangeran Diponegoro. Lelaki yang mengklaim berada pada urutan ketujuh dalam rantai silsilah sang pangeran itu kini tinggal di Kulon Progo dan bekerja sebagai pegawai negeri.

Bagi anak-cucu Diponegoro yang lahir dan besar di tempat pengasingan, kata dia, mereka seolah harus kehilangan identitas sebagai orang Jawa. Di Ambon, misalnya, ia mencontohkan. “Di Ambon dibilang orang Jawa, tapi di Jawa sendiri mereka dibilang orang Ambon.”

Roni mengatakan kedatangan kembali anak-cucu Pangeran Diponegoro ke Jawa terjadi sebelum masa kemerdekaan Republik Indonesia. Soekarno, Presiden RI pertama, adalah pengagum Diponegoro. Atas bantuannya, anak-cucu Diponegoro bisa kembali tanah Jawa. “Tapi tidak di Jawa Tengah dan Yogyakarta,” kata lelaki 42 tahun itu. “Melainkan ditempatkan di Cimahi.”

Bagaimana dengan anak cucu Diponegoro yang tertinggal di Jawa? Ternyata tak kalah sengsara. Roni ingat satu cerita dari mbah buyutnya. Pada masa penjajahan Belanda, ada pesan turun-temurun yang disampaikan agar anak-cucu Diponegoro tak pernah mengaku sebagai keturunan sang pangeran. Mungkin saja, ia menduga, untuk alasan keamanan.

Lantaran tak pernah membuka identitas diri itu, tak jarang anggota keluarga tak mengenal saudara dari keluarga lainnya. Namun ia menyatakan ada kode rahasia yang berlaku agar sesama keluarga keturunan Diponegoro masih bisa saling mengenali. Pada trah Sodewo, misalnya, kata dia, ada pesan agar mereka menanam pohon tertentu di sekeliling rumahnya. Yakni kemuning di kanan kiri, sawo di depan, dan kepel di belakang rumah. “Kalau sawo kecik dihindari,” katanya.

Sawo kecik, kata dia, adalah pohon yang lazim ditemui di sekitar keraton Yogyakarta. Keluarga khawatir, dengan menanam pohon itu identitas mereka justru terbongkar. Menurut dia, kekhawatiran-kekhawatiran semacam itu tentu tak ada lagi.

Diponegoro meninggal di Makassar pada 8 Januari 1855. Tepat di tanggal yang sama, 8 Januari 2014, aktor dan sutradara teater, Landung Simatupang, menggelar pembacaan drama tentang Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, Yogyakarta.

0 comments:

Post a Comment