Friday, December 20, 2013

Foto : Prosesi Pelantikan Wali Nanggroe Aceh, 16 Desember 2013

Menurut catatan sejarah Aceh istilah Wali muncul pada saat Aceh dipimpin oleh Sultanah Syafiatuddin (1641-1675), Sultanah Naqiatuddinsyah (1675-1678), Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688) dan Kamalatsyah (1688-1699). Saat itu Wali Nanggroe Aceh di jabat oleh Syekh Abdurrauf As-Singkili, yang diangkat sebagai Waliul Mulki sekaligus Qadhi Malikul Adil Kerajaan Aceh. Penyebutan ini mengindikasikan bahwa gelar Wali Nanggroe ditambalkan untuk Ulama yang dianggap memiliki otoritas keagamaan yang paling tinggi. Namun, setelah Tgk. Syekh Abdurrauf As- Singkili meninggal, istilah Wali Nanggroe tidak terdengar lagi. Istilah Wali muncul kembali pada tahun 1870 ketika Tuwanku Hasyim Banta Muda ditetapkan sebagai Waliul Mulki, karena saat itu Sultan Mahmud Syah (1870-1874) masih belia, sehingga belum layak dianggkat menggantikan Sultan Alaidin Ibrahim Syah yang meninggal dunia Tak lama kemudian, tepatnya pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyerang Aceh, Tuanku Hasyim berupaya menyelamatkan Wibawa Kesultanan Aceh dengan memindahkan Sultan Mahmudsyah yang masih kecil ke Lueng Bata Kuta Raja sekarang dan akhirnya meninggal pada tanggal 25 Januari 1874.

Kemudian diganti oleh Sultan Teungku Daud Syah (1878-1939) yang waktu itu baru berumur ± 7 tahun, setelah Sultan dewasa memimpin Kerajaan Aceh Darussalam Wali Naggroe tidak diperlukan lagi. Peluang ini dimanfaatkan Penjajah Belanda guna menguasai dan merebut seluruh wilayah Kerajaan Islam Aceh Darussalam. Kemudian Raja Aceh tersebut ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Batavia yang akhirnya meninggal dunia di Jakarta tepatnya di Utan Kayu (Jatinegara) pada 04 Ferbruari 1939. Sultan Daud Syah berdasarkan fakta sejarah tidak pernah menyerahkan kekuasaan Kerajaan Aceh kepada siapapun sebelum beliau meninggal dunia, berarti Wali Naggroe sudah berakhir sejak tahun 1939.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas maka Pemerintah Aceh jangan melakukan politik pembiyaran terhadap Regulasi Qanun Aceh tersebut, kalau tidak bertentangan dengan Undang-undang yang lebih tinggi hendaknya segera diklarifikasi dan disetujui untuk menjadi Qanun Aceh. Kalau bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi segera dibatalkan oleh Pemerintah agar Eksekutif dan Legislatif Aceh tidak acak-acak dan coba – coba dalam membuat Qanun Aceh yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat Aceh dari Sabang sampai ke Singkil dan dari Tamiang sampai ke Simeulu.

[Penulis Drs H Nabhani,MBA]

0 comments:

Post a Comment