JAKARTA - Pakar
psikologi forensik Reza Indragiri Amril mengatakan praktik permainan
uang dalam tes psikologi bagi anggota Polri yang ingin mengantongi
senjata api (Senpi) di Polda Metro Jaya, hanya contoh kecil bahwa
mekanismenya belum dikelola dengan baik.
Justru yang lebih rumit, kata Reza,
ketika lingkungan Polri mengabaikan sisi kemanusiaan di internalnya
sendiri. Hal ini tercermin dalam terbangunnya sebuah wadah, sindrom,
bahwa mereka orang-orang berseragam merasa hina mengatakan lelah dan
sejenisnya.
"Perlakuan organisasi seperti itu
justeru mencerabut sisi kemanusiaan. Di kepolisian sisi kemanusiaan
memang kurang, (sehingga memicu) terjadinya pembunuhan, bunuh diri
maupun kecelakaan (di lingkungan anggota Polri," jelasnya.
Kemudian dalam konteks keberadaan
tenaga psikologis, lanjut Reza, mereka hanya dianggap permainan karena
yang bekerja di institusi Polri bukan mekanisme psikologi.
Padahal jika memahami teori efek
senjata api, maka lazimnya manusia berperilaku kalau ada niatan, ada
motif. Namun fakta yang terjadi adalah perilaku itu muncul tanpa
didahului niatan atau motif tertentu.
"Artinya kepemilikan senjata api ini
sendiri sudah cukup mendorong seseorang menggunakannya. Dalam konteks
ini sebenarnya bukan senjatanya yang berbahaya, tapi kesiapan psikologi
penggunanya (yang tak siap)," ujar pengajar di PTIK itu.
Karena senjata api merupakan benda
berbahaya, Reza memandang seharusnya hanya orang-orang terpilih saja lah
yang boleh memenang senjata api itu.
Disinggung soal kejadian tewasnya AKBP
Pamudji pada malam hari, Reza juga menilai faktor waktu bisa membuat
orang lebih agresif, sehingga memudahkan orang melakukan pencideraan
baik terhadap dirinya maupun orang lain.
0 comments:
Post a Comment